Dunia kuliner termasuk makanan tradisional selalu melakukan inovasi terus menerus untuk menapakan eksistensinya. Meski sudah banyak jajanan kekinian dengan beraneka varian, jajanan sunda masih tetap mendapatkan tempat tersendiri bagi penikmat setianya.
Kehadiran jajanan sunda tak lekang oleh waktu. Kini, jajanan sunda jadul memiliki banyak sentuhan modern dan modifikasi dengan rasa dan penampilan yang lebih menarik. Bagaimanapun jajanan sunda turut dalam mengembangkan ekonomi kreatif khususnya di wilayah Jawa Barat.
Di balik gempuran jajanan ala eropa dan asia timur seperti Korea dan Jepang, keberadaan jajanan sunda masih dirindukan banyak kalangan. Jajanan sunda dikenal dengan cita rasa yang menarik yang didominasi asin dan pedas meski teman Menong bisa juga menemukan jajanan sunda dengan rasa manis dan gurih.
Jenis dan ragam makanan khas sunda dikelompokan berdasarkan bahan, cara pengolahan, cara penyajian dan fungsinya. Jajanan sunda biasanya berfungsi sebagai kudapan (snack) yang tidak termasuk ke dalam makanan pokok yang dikenal sebagai ‘opieun’. Yuks, kita telusuri jejak jajanan sunda yang bisa jadi jajanan favorit teman Menong.
Awug
Saya menyebutnya 'awug' meski di sebagian daerah menyebut penganan dari tepung beras ini 'dodongkal' (cianjur dan sukabumi). Awug termasuk dalam jajanan yang diseupan atau dikukus.
Awug terbuat dari tepung beras dan gula merah. Ciri khas awug atau dodongkal adalah dimasak dengan menggunakan aseupan atau kukusan yang berbentuk kerucut yang terbuat dari bambu sehingga aromanya tercium khas. Bentuk awug pasca dimasak menyerupai bentuk tumpeng.
Awug disajikan dengan parutan kelapa dalam wadah dari daun kelapa yang dibentuk kerucut yang disebut dengan cangkedong. Bentuk kerucut ini memiliki makna tersendiri yang jarang diketahui termasuk saya sendiri.
Filosopi keduanya memang bermuara pada keyakinan orang jaman dahulu yang memuliakan gunung sebagai tempat arwah leluhur. Secara logika hal ini berhubungan dengan kondisi alam di dataran Sunda yang didominasi dengan gunung. Bentuk kerucut segitiga (jurutilu) merupakan simbol dari tempat suci bagi transformasi kehidupan.
Salah satu awug favorit saya dijual di kawasan Cicadas Bandung dengan label Awug Cibeunying. Salah satu faktor mengapa saya menyukainya adalah karena pedagangnya rapi dan bersih.
Kini awug banyak disajikan di berbagai acara meski belum tercipta varian baru lain alias varian jajajan Sunda kekinian.
Ali Agrem
Kue khas berbentuk cincin atau donat dengan bolong di tengah ini sangat dikenal karena namanya yang unik yaitu ali agrem. Ali berarti cincin dalam bahasa sunda. Ali agrem terbuat dari tepung beras, gula merah lalu dibentuk cincin dan digoreng.
Dahulu, ali agrem hanya dikenal sebagai penangan yang disajikan saat ada hajatan pernikahan. Bentuknya yang bulat seperti cincin memiliki filosopi hidup untuk selalu berpikir positif dan berbuat baik secara berkelanjutan terutama dalam pernikahan.
Kini teman Menong dapat menemukan kue ali di mana saja dan bahkan dijadikan oleh-oleh khusus dari daerah tertentu. Saya sendiri menyukai ali agrem karena rasanya manis dan cocok dinikmati dengan segelas teh tawar panas terutama saat suasana dingin seperti di sore hari atau saat hujan turun.
Saya lebih menyukai ali agrem dengan tekstur yang lembut namun beberapa produk dibuat dengan tekstur yang lebih keras. Tekstur yang lebih lembut biasa berbentuk adonan cincin yang lebih 'gemuk' dibanding tekstur keras yang lebih 'langsing'. Teman Menong bisa memilih tekstur mana yang lebih disukai.
Burayot
Salah satu jajanan khas Garut ini namanya melekat dalam ingatan saya. Nama unik ini diambil dari kata 'ngaburayot' yang berarti menggelantung karena burayot dibuat dengan cara menarik bagian kue sehingga menggelantung.
Burayot terbuat dari adonan tepung beras dan gula aren yang dicairkan lalu adonan ini digoreng. Pada saat proses menggoreng, kulit kue yang terbentuk akan diangkat dengan batang bambu kecil. Bagian tepung yang tidak tertarik akan menggelantung di dasar kue.
Saya baru mengenal burayot ini sejak pindah ke Bandung. Salah seorang teman saya yang asli Garut sering membawa burayot sebagai oleh-oleh. Rasanya mirip dengan ali agrem dan cuhrur karena bahannya sama.
Selain bentuk, burayot lebih banyak mengandung minyak dibandingkan dengan ali agrem sehingga after taste yang lebih oily sangat terasa di lidah. Isi dari burayot biasanya lebih lebih lembut dengan kulit yang lebih tipis. Kini burayot menjadi salah satu oleh-oleh jajanan Sunda jadul wajib dari Garut. Teman Menong bisa menemukannya di outlet oleh-oleh atau sepanjang jalan keluar dari Kota Garut.
Wajit
Wajit juga dikenal di tanah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan sebutan wajik. Wajit terbuat dari beras ketan, parutan kelapa dan gula merah. Wajit diolah dengan memasak beras ketan seperti memasak nasi lalu dicampur dengan gula, parutan kelapa dan digodok sambil diaduk hingga mengental.
Adonan wajit yang sudah mengental dibungkus dengan kertas minyak berwarna warni atau daun jagung kering. Terkstur luar terlihat keras namun lunak saat digigit.
Perbedaan wajit sunda dan wajik jawa adalah tekstur wajit lebih didominasi parutan kelapa meski keduanya memiliki rasa manis. Wajit dikenal sebagai simbol penikahan sehingga dahulu sering dihidangkan di hajatan pernikahan. Kata 'wajit' merupakan penyesuaian pelafalan kata 'wajik' dalam bahasa Sunda.
Pada tahun 1916, Bu Juwita dan Bu Uti, asal Cililin sebuah daerah di Kabupaten Bandung Barat memodifikasi wajik jawa menjadi wajit sunda. Di jaman penjajahan Belanda, wajit sempat menjadi penganan kaum bangsawan karean bahan utamanya yaitu beras ketan diimpor dari luar negeri. Rakyat biasa tidak diperkenankan untuk mengonsumsi wajit sehingga wajit menjadi camilan eksklusif.
Irah, putri dari Juwita yang meneruskan usaha wajit ini mendobrak larangan tersebut hingga akhirnya wajit dapat dinikmati berbagai kalangan hingga kini.
Dahulu, menjelang lebaran wajit menjadi salah satu penganan yang wajib dibuat...iya dibuat dengan cara manual dalam wajan besar dan diaduk nonstop agar adonan yang telah mengental tidak gosong😟. Saya sendiri sering membantu membungkusnya meski terkadang adonan panas melukai tangan kami.
Kini, wajit buatan rumahan sudah jarang ditemukan saat lebaran berganti kue yang lebih moderen, Namun begitu, wajit masih menjadi salah satu oleh-oleh favorit dari desa.
Sate Jebred
Mungkin teman Menong banyak yang tak mengenal sate jebred, sate yang terbuat dari kulit sapi atau kerbau yang diolah dengan cara direbus, dipotong kotak-kotak lalu diberi bumbu rempah seperti kunyit dan taburan parutan kelapa berbumbu atau yang dikenal dengan sebutan serundeng.
Sate jebred berbeda dengan sate pada umumnya, sate madura atau sate maranggi. Sate jebred asli memang hanya terdiri dari tusukan kulit saja namun untuk menghemat biaya produksi, seringkali dipadukan dengan gajih (lemak). Sate ini juga memiliki aroma yang khas yang berbeda dari sate lainnya.
Saya pribadi tak pernah menyantap sate jebred dengan nasi karena sate ini lebih cocok dinikmati sebagai jajanan sunda alias camilan saja. Meski tak terlalu menyukai partuan kelapa (dalam jenis makanan apapun), saya sendiri sanggup menghabiskan sate jebred hingga 10 tusuk sekali disajikan karena rasanya yang enak😍.
Sate dengan rasa asin, gurih dan bertekstur kenyal ini bisa teman Menong temukan di penjual jajanan tradisional. Saya sendiri sering membeli sate jebred di area luar stasiun Cicalengka atau Rancaekek, Kabupaten Bandung, saat menunggu jam keberangkatan Kereta Api Komuter Bandung Raya.
Saat membeli sate jebred ini, teman Menong harus waspada karena terkadang warna kuning sate bukan warna alami karena ditambahkan pewarna buatan. Warna kuning alami dari bumbu relatif tidak terlalu mencolok dan agak kecoklatan. Pastikan selalu untuk memilih jajanan Sunda jadul yang aman dan sehat.
Post a Comment
Post a Comment