Bagi saya yang asli urang Bandung, mungkin dahulu saya hanya mengenal beberapa kota besar di Pulau Sulawesi seperti Ujung Pandang yang kini dikenal sebagai kota Makassar karena salah seorang paman saya bekerja disana selama beberapa tahun dan Manado ibukota provinsi Sulawesi Utara yang dikenal dengan keindahan alamnya.
Saat mendapatkan tawaran untuk terbang ke Kendari, tanpa ragu saya mengiyakan. Selain karena pengalaman pertama, kali ini kami pergi berombongan yang membuat saya lebih percaya diri.
Kendari
Kendari merupakan ibukota provinsi Sulawasi Tenggara yang berjarak kurleb 20 jam dari Makassar, Sulawesi Selatan menggunakan mobil. Teringat Kendari, saya teringat Wakatobi, destinasi wisata bahari yang sudah mendunia karena keindahan Taman Nasional Lautnya.
Saya pikir area konservasi terumbu karang yang dijadikan spot menyelam terbaik di dunia ini berada tak jauh dari tempat yang akan kami tuju. Olala, ternyata spot terkenal ini masih harus ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang.
Padahal selain Raja Ampat di Sorong, Papua Barat dan Pulau Tidung, Jakarta yang pernah saya kunjungi beberapa tahun lalu, Wakatobi ada dalam list destinasi laut yang ingin saya sambangi suatu hari nanti.
Kota Kendari berada di Teluk Kendari, sebelah Tenggara Sulawesi yang telah dikenal sejak abad ke-15. Seperti halnya kota di pinggir pantai, Kendari memiliki cuaca yang cukup panas.
Bandara Haluoleo terletak jauh dari pusat kota. Bandara ini mungkin bandara terkecil tang pernah kami kunjungi. Ruang tunggu berada tak jauh dari gerbang masuk dan penumpang bisa langsung melihat pesawat yang tinggal landas atau mendapat.
Penginapan atau Hotel
Kali pertama, kami menginap di Hotel Srikandi Kendari yang berjarak 15 km atau ditempuh dalam waktu 25 menit. Jangan lupa ya, tak ada macet di perjalanan membuat jarak terasa lebih jauh.
Hotel Srikandi terletak di Jalan Panjaitan No 339, Lepo-lepo, Baruga, Kendari. Di aplikasi biru, rate hotel mulai dari Rp. 200.000 – Rp. 400.000 dengan layanan tanpa sarapan. Sayangnya kamar di hotel ini relatif tidak luas, kurleb 14 m2. Hotel ini memang sudah berumur belasan tahun dengan desain unik bermotif bata ekspose sehingga memiliki nuansa merah kecoklatan.
Kamar-kamar juga tersedia di area luar yang langsung menghadap teras. Di luar kamar disediakan kursi kayu. Meski terletak tepat di pinggir jalan raya, tak ada kebisingan berarti yang bisa didengar di dalam kamar.
Yang saya sukai dari hotel berlantai dua ini adalah area lobi yang terkesan homey karena menyediakan sofa besar dan meja ala rumahan. Meja resepsionis memang tak seberapa luas. Di dekatnya ada tangga menuju kamar-kamar di lantai 2. Di lantai 2 tersedia ruang tamu yang cukup luas.
Biasanya kami berkumpul di area lobi sambil menikmati kuliner khas Kendari yang diberikan pihak hotel secara cuma-cuma. Itulah kali pertama saya mencicipi pisang epe saus durian dan kepiting rebus dengan ukuran ekstra large.
Kali kedua, kami menginap di Hotel Horison Kendari yang berada di Jalan. Ahmad Yani No 3, Kadia, Kendari. Hotel ini terletak cukup jauh dari bandara Haluoleo yang dapat ditempuh dalam waktu 45 menit menggunakan mobil.
Ukuran kamar hotel ini lumayan luas, 24 m2 untuk semua jenis kamar (superior double hingga executive suite). Kamar memiliki fasilitas standar seperti TV kabel, meja, dan kulkas. Beberapa kamar masih menyediakan bathtub. Rate Hotel Horison Kendari adai di kisaran Rp. 800.000. Teman Menong bisa mendapatkan diskon bila memesan via aplikasi biru.
Resto hotel berada di dekat lobi. Menu yang disajikan lumayan enak dan bervariasi. Di hotel inilah saya pertama mengenal minuman jamu disajikan di resto sebuah hotel.
Satu hal yang saya sukai dari hotel ini adalah lokasinya yang benar-benar strategis. Apalagi bagi kami yang harus mencari makan siang dan makan malam sendiri. Jejeran ruko berada tepat di samping hotel termasuk kafe atau rumah makan dengan harga yang lumayan terjangkau.
Saat berada di Kendari, saya mendapatkan telepon scam yang menyatakan saya mendapatkan hadiah dari provider Te*kom*el. Alhamdulilah, gerai GRAPARI tepat berada di seberang hotel, jadilah saya mengantri melaporkan telepon tersebut. Begitupun saat teman saya mencari charger laptop yang rusak, kami berhasil menemukan toko yang menyediakan spare part laptop dan komputer.
Jalan-jalan di Kota
Saat menginap di Hotel Srikandi, kami mencicipi mie bakso tak jauh dari hotel. Saya pun tergerak mencoba mie berwarna biru yang tak pernah saya temui di Jawa. Mie berwarna oranye sudah biasa saya cicipi di Cianjur sebagai bahan pembuat mie golosor.
Kami juga mencoba naik angkutan umum keliling kota. Ongkos angkutan sama untuk jarak jauh atau dekat. Tujuan kami adalah pantai terdekat. Supir angkutan mengarahkan kami untuk mampir di salah satu pantai. Tak disangka, supir yang mengantar kami ternyata berasal dari daerah Buah Batu, Bandung.
Perjalanan kami ini tentu saja kami laporkan kepada rekan-rekan yang lain meski saya tak menduga respon dari teman-teman yang sibuk menggoda kami mengapa berani pergi hanya berdua saja.
FYI, kami berdua pergi di saat rekan-rekan pria sholat jumat. Pantas saja, waktu kami berfoto berdua banyak orang yang memandang kami dengan lirikan tak biasa. Ternyata konon katanya di pantai ini adalah ada bagian 'pantai tak biasa'😞. Saya sendiri tak mengerti maksudnya karena yang kami lihat hanya pedagang dan jejeran kafe biasa😕
Saat kembali ke Kendari kali berikutnya, kami diantar oleh rekan kami yang asli warga Kendari. Kami diantar ke Kendari Beach kami menikmati kuliner lokal yang banyak dijajakan di pinggir pantai. Seperti biasa, kuliner khas Sulawesi memang menggoda lidah.
Post a Comment
Post a Comment