Lembah Harau Sumbar, nama itu muncul di mesin pencarian saat kami menyempatkan diri searching tempat wisata apa yang bisa kami kunjungi selama di Payakumbuh.
Sumatera Barat
Lembah Harau Sumbar terletak di Kabupaten Lima Puluh Kota, berjarak kurleb 115 km yang ditempuh dalam waktu 3 jam. Kami tiba di Bandara Minangkabau, Padang Pariaman tepat jam 12.00 WIB dan langsung melanjutkan perjalanan ke Lembah Harau menggunakan mobil.
Kami berniat menginap di Payakumbuh. Perjalanan menuju Payakumbuh biasanya ditempuh melalui Kota Padang Panjang namun jalur terputus akibat longsor di kawasan Lembah Anai sehingga kami mengambil jalan memutar. Kami harus bergegas karena perjalanan masih jauh 4 – 6 jam melalui Malalak, kecamatan di Kabupaten Agam yang menjadi jalur alternatif Padang –Bukittinggi.
Masih di daerah Pariaman, kami mampir untuk makan siang dan menikmati hidangan Sumbar pertama kami. Rumah makan bambu ini terletak di pinggir pantai. Saat itu air sedang surut sehingga kami bisa menikmati riak air dengan tenang. Lain ceritanya bila air pasang datang yang bisa menimbulkan banjir yang bisa mencapai deretan warung di seberang jalan.
Hidangan yang disajikan tentu saja masakan khas Sumatera Barat yang sangat menggugah selera. Rasanya kalap melihat piring berisi aneka makanan yang (dulu) menjadi favorit saya. Gulai kapalo laluak (kepala ikan), sala laluak (gorengan ikan berbentuk bulat), ikan bakar atau udang bacucu. Sayangnya, menu ini didominasi rasa pedas yang harus saya hindari.
Selepas Pariaman, jalur yang kami tempuh merupakan jalur perbukitan yang curam dengan jalan menyempit di beberapa titik. Meski begitu, teman Menong akan disuguhi pemandangan indah yang memukau khas perbukitan.
Udara segar menyapa kami lewat jendela yang dibiarkan terbuka. Berhubung tangan kanan saya masih belum bisa digerakan sepenuhnya, tak banyak foto yang bisa saya ambil. Jalanan semakin menanjak dengan bukit di depan kami. Rekan kami mengatakan kami harus melewati bukit yang ada di depan kami agar bisa sampai ke Malalak (Bayangkan seberapa tinggi tempat yang kami tuju).
Tiba di Malalak kami berhenti sejenak dan berfoto di atas batu bertuliskan ‘Malalak’ (Rasanya seperti naik tebing)
Banyak orang yang berhenti untuk menikmati lembah sekaligus beristirahat makan sate (padang tentunya) atau pergi ke toilet (air nya super dingin).
Lokasi ini mengingatkan saya akan Puncak Pass meski tanpa kebun teh, hanya ada pepohonan belaka. Sesekali kami melewati spot pepohonan rimbun dengan anak sungai mengalirkan air jernih mirip hutan di film Twilight.
Saat akhir pekan atau musim mudik, jalur ini bisa macet parah dan diberlakukan buka tutup. Jarak yang biasanya ditempuh 4 jam bisa saja molor menjadi 8 jam. Longsoran di kanan kiri jalan juga jadi ancaman bagi pengendara.
Gunung Marapi
Memasuki wilayah Kab. Agam, saya melihat awan kelabu menggantung di depan kami. Langit nampak muram. Rekan kami menunjukan Gunung Marapi yang erupsi dua minggu sebelumnya. Dan saat tiba di hotel, saya baru membaca berita, pada saat kami lewat, Gunung Marapi ternyata sedang ‘batuk’ melontarkan abu vulkanik setinggi 300 meter.
Kami juga bisa melihat sisa banjir bandang yang sempat melanda kawasan ini di bulan Mei 2024. Jujur saja, saya mengagumi keindahan Sumatera Barat dari setiap jengkal yang kami lalui dalam perjalanan menuju Lembah Harau. Gunung Sigantang yang tegak di sebelah kanan kami tampak menawan menaungi lembah yang dihiasi rumah khas Minang.
Kami juga diceritakan musibah yang menimpa 3 kecamatan yang habis tertimbun tanah longsor di Kab. Agam, tak menyisakan satu pendudukpun. Bahkan, ada seorang warga yang merantau ke Jakarta, kembali pulang untuk menghadiri kenduri dan turut tewas bersama yang lain.
Jam Gadang
Kami tiba di Bukittinggi menjelang ashar. Jam Gadang, ikon Bukittinggi menjadi tujuan kami. Kota ini mengingatkan saya akan dinginnya Bandung.
Jam Gadang yang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek asli Minangkabau yang bernama Yazid Rajo Mangkuto Sutan Gigi Ameh ini terletak di pusat kota. Bangunan berwarna putih ini dibangun tanpa semen dan besi penyangga namun nampak kokoh. Konon semen diganti dengan putih telur. Penunjuk waktu Jam Gadang yang bermesin made in Germany ini ditulis dalam angka romawi dengan penulisan IIII untuk menunjukan angka IV.
Teman Menong bisa menikmati keindahan Jam Gadang tanpa harus membayar tiket. Kami pun mencari spot foto terbaik termasuk di sisi pagar yang menghadap lembah cantik membentang (saya lupa namanya).
Karena harus melanjutkan perjalanan, kami tak sempat mampir ke Ngarai Sianok dan Lobang Jepang Bukittinggi yang berada tak jauh dari Jam Gadang.
Kami melewati tepian Ngarai Sianok saat pulang kembali ke Kota Padang beberapa hari kemudian. Kami terpaksa melewati jalanan berkelok super ekstrim (45 derajat) di balik Ngarai Sianok demi menghindari jalur awal karena macet total menjelang Idul Adha. Rasanya 'horor' sekali membuat kami berdoa sepanjang jalan.
Setiap belokan curam harus kami lewati dengan hati-hati karena jalan sempit hanya cukup untuk satu mobil saja, sementara kami tak bisa melihat kendaraan yang melaju dari arah lawan. Alhamdulillah supir kami sangat cekatan, dibantu oleh warga lokal yang memandu di setiap tikungan, kami bisa melewatinya dengan selamat.
Belokan Curam di Ngarai Sianok |
Payakumbuh
Payakumbuh terletak di tengah Kab. Lima Puluh Kota, berbatasan dengan Kab. Tanah Datar dan terletak di hamparan Gunung Sago, Bukit Barisan. Kami tiba menjelang jam 18.00 WIB namun suasana masih terang benderang karena waktu magrib baru tiba jam 18.24 WIB. Tujuan kami adalah hotel karena jujur saja kami sudah lelah dan ingin segera beristirahat.
Hotel yang kami pilih berjarak kurleb 30 menit dari Lembah Harau yang akan kami kunjungi saat waktu senggang nanti. Saatnya beristirahat😪
Huwaaaa, aku selalu ingin ke Sumbar, setiap baca tulisan tentang Sumbar tuh berasa dibawa jalan-jalan ke tempat-tempat yang indah, sampai-sampai saat bikin soal teks deskripsi buat murid-muridku, seringkali menggambarkan keindahan Lembah Harau, Bukit Barisan, Ngarai, duuuh kapan aku ke sana yaa, hehe.
ReplyDeleteWah seru banget jalan-jalan ke Sumatera Barat sambil menikmati makanan khasnya. Aku juga suka gulai kepala ikan, rasanya khas banget. Di dominasi pedas kesukaan aku banget nih, makan jadi lahap.
ReplyDeleteDi Sumatera Barat banyak bukit-bukit yang indah ya kak.Baca artikelnya serasa ikut dalam perjalanan ke sana. Ditunggu reviewnya tentang perjalanan selanjutnya.
ReplyDeleteKalau di Sumatra Barat itu nggak ada rumah Padang, ya, Mbak? He-he.
ReplyDeleteInnalillahi wainna ilaihi rajiuun. Ternyata tanah longsor yang menimbun tiga kecamatan itu tidak meniggalkan satu penduduk pun. Tidak terbayang dahsyatnya musibah itu.
Aku jadi semakin penasaran dengan keindahan Sumbar, setelah membaca Negeri 5 Menara kemudian membaca artikel mbak, semakin membuatku ingin berkunjung ke sana. Semoga diberi kesempatan untuk berkunjung ke sana
ReplyDeleteSelalu penasaran dengan wajah alam Sumatera, khususnya Sumatera Barat. Indah banget pasti yaa kalo diliat secara langsung, dari foto aja terlihat asri banget. Sayangnya, jalanan Sumatera belum sebagus jalanan di Jawa ya mbak. Baca artikel ini ikut ngeri-ngeri sedap dengan jalanan yang dilewat.
ReplyDeleteAku belum pernah ke sumatera barat, kayaknya seru ya mbak... dulu pernahnya ke lahat aja, udah nglewatin tebing tebing
ReplyDelete