Bulan ini menandai sekian tahun saya diberi amanah kehidupan di dunia ini. Kali ini saya akan membagikan sepenggal kenangan masa kecil yang tak terlupakan di tempat-tempat yang selalu membangkitkan rasa haru setiap melewatinya.
Kawasan Pusdai
Saya lahir di sebuah puskesmas tak jauh dari Gedung Sate, pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Baik keluarga Ayahanda dan Ibunda memang tinggal dalam area wilayah yang tak berjauhan. Karena Ayahanda bertugas di luar kota, saya dititipkan di rumah orang tua Ayahanda yang berlokasi di Kampung Cihaurgeulis -(kini) daerah Pusat Studi dan Dakwah Islam atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pusdai-.
Aki dan Nini sendiri telah lama menetap di Cihaurgeulis. Konon, rumah Aki dahulunya berada di wilayah pasar Cihaurgeulis sebelum direlokasi ke Pasar Suci Bandung. Seperti halnya pemukiman padat di tengah kota, daerah Cihaurgeulis memiliki banyak gang yang tersambung bagai labirin.
Gang sempit yang tak hanya memiliki kontur lurus namun juga menanjak, menukik, melewati jembatan, dengan atap rumah yang saling berhimpit. Selokan di dekat rumah Aki sendiri, setiap pagi masih dipergunakan untuk MCK dadakan para bocil yang jongkok berjejer (jangan bayangkan bekasnya yaa!). Beberapa rumah petak kontrakan masih memanfaatkan MCK bersama untuk aktivitas mandi, mencuci dan lainnya.
Meski lebih dekat dengan Jalan Surapati -hanya dibatasi jembatan di atas sungai yang tak seberapa besar-, akses kendaraan (motor) hanya bisa dilalui dari arah Jalan Diponegoro yang berujung di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) tepat menuju jalan raya.
Di area Jalan Diponegoro inilah berjejer kuliner malam seperti gorengan, hingga sate kelinci.
Saya sendiri masih mengingat gang kecil tempat bakso favorit paman dan bibi yang menempel persis di dinding tembok RRI Bandung. Di pagar RRI tumbuh tanaman liar yang penuh ulat bulu berwarna hitam coklat yang sering digunakan kakak-kakak sepupu menjahili saya😨.
RRI Bandung Tahun 2024, di tembok ini dahulu berjejer ulat bulu |
Saya sendiri bersekolah TK di RRI Bandung. Tak seperti Taman Kanak-Kanak umumnya, TK RRI tak memiliki ayunan atau perosotan (sampai sekarang saya tak berani menaiki ayunan), tapi kami diikutkan dalam siaran radio untuk 'memamerkan' lagu yang kami nyanyikan. Aki adalah salah satu penggemar setia dan selalu siap mendengarkan cucunya bernyanyi di radio😘.
Museum Geologi dan Taman Cilaki yang kini berganti menjadi Taman Lansia adalah tempat bermain saya. Terkadang pinggiran Jalan Diponegoro ini sering digunakan untuk bongkar muat panen jagung yang menjadi usaha sampingan warga dengan membantu membersihkan pelepah jagung.
Begitupun di area gang Cihaurgeulis, saya masih mengingat ada pekarangan rumah yang dijadikan tempat mengupas kacang merah. Biasanya warga mengerjakan secara bersama-sama sambil mendengarkan dongeng Si Rawing di radio yang dituturkan pendongeng legendaris, Wa Kepoh. Sekedar tahu, Wa Kepoh membacakan cerita sendirian dalam berbagai jenis suara baik, suara laki-laki-perempuan, anak-anak hingga tua.
Kawasan Pusdai memiliki luas 4,5 hektar mulai dibangun di tahun 1992 dan diresmikan pada tahun 1997 setelah melalui proses pembebasan lahan selama 10 tahun. Saat itu Nini telah berpulang dan Aki yang mulai sakit-sakitan pindah untuk menetap bersama salah satu kakak Ayahanda.
Pusdai Tahun 2024 |
Kini Pusdai menjadi salah satu ikon Kota Bandung yang berfungsi sebagai tempat syiar dan kegiatan Islam. Saat ada waktu, saya masih menyempatkan diri untuk mampir sejenak mengingat kenangan masa kecil yang tak terlupakan yang kini nyaris tak berjejak.
Lambang 💓yang dahulu rumah Aki dan Nini, Pusdai Tahun 2024 |
Buku
I’m books lover.
Tak terhitung buku yang sudah saya lahap sedari kecil. Karena keterbatasan dana, saya sangat jarang membeli buku. Untuk memenuhi dahaga akan membaca buku, saya sudah menjadi anggota Taman Bacaan sejak masih duduk di kelas 2 SD.
Saya kerap keluyuran sendirian bila ingin bermain ke rumah teman yang jaraknya lumayan jauh (dulu aman dan cukup berjalan kaki saja,ya!). Di perjalanan ini lah saya banyak menemukan Taman Bacaan yang menyediakan aneka buku dari mulai komik (karya Tatang S bertema pahlawan super dengan kearifan lokal hingga siksa neraka) atau aneka majalah.
Hobi ini berlanjut hingga saya dewasa terutama karena saya menemukan ‘teman seperhobian’ yaitu kakak sepupu saya yang usia nya terpaut 4 tahun lebih tua. Kami bahkan sempat menjadi pelanggan tetap Perpustakaan ITB dan The British Council yang terbuka untuk umum serta Taman Bacaan Hendra, taman bacaan tertua di Kota Bandung.
Kakak sepupu juga memperkenalkan kami pada salah satu toko buku legendaris Indonesia, Toko Buku Gramedia, yang saat itu masih berupa bangunan sederhana seperti gudang. Kami biasa berjalan kaki beriringan dari rumah melewati Lapangan Gasibu karena dahulu angkutan umum masih belum lazim dan kami (pastinya) tak punya cukup uang. Jarak yang lumayan jauh bagi kami para bocil seolah tak dihiraukan.
Lapangan Gasibu Tahun 2024 |
Di sana, kami bebas membaca komik kesukaan kami yang diterbitkan berseri. Satu kenangan yang tak bisa saya lupakan saat saya tak sengaja menyobek sebuah tabloid saat kakak sepupu saya membayar belanjaan kami yang tak seberapa di kasir. Alhasil, kakak sepupu saya harus membayar tabloid itu sebesar Rp.1.500, nominal yang lumayan saat itu😓.
Banyak tempat yang selalu mengingatkan saya kenangan masa kecil yang tak terlupakan. Hingga saat ini jalanan di seputar Gedung Sate memang tak banyak berubah khususnya naungan pohon rindang yang menambah kesejukan. Bagaimana tempat yang lain,ya?
Kenangan masa kecil itu memang yang paling indah ya, terkadang pingin kembali kemasa itu "why I grow up?" hehehe
ReplyDeleteMembaca tulisan ini jadi membayangkan jika latar ini dijadikan latar novel atau film layar lebar sepertinya akan sangat berkesan. Cerita lebih banyak lagi, Mbak.
ReplyDeleteKenangan masa kecil yang tak akan terlupakan. Sesuatu yang membahagiakan dan ingin mengulang kembali
ReplyDeleteMenyenangkan sekali mengingat masa kecil, yang pastinya banyak kenangan indah. Sayang sekali ya, bila rumah masa kecil kita sudah tidak ada.
ReplyDeleteBandung memang sebegitunya memberikan kenangan, tak hanya bagi yang tinggal, tapi juga pelancongnya. Saya dulu juga pernah ke museum geologi dan ke taman lansia, memang memorable sekali tempatnya
ReplyDeleteMemorable banget masa kecilnya ya, kenangan yang tak terlupakan. Pasti kangen banget ada di masa itu ya. Salut banget sudah suka baca dari kelas 2 SD. Baca tulisan ini aku jadi ikut membayangkan ada di zaman itu.
ReplyDeletenext,bisa dijadiin buku novel sendiri dan lahiran antologi ya mbak. menuliskan masa kecil disini bisa jadi banyak artikel
ReplyDeleteSeru ya cerita masa kecil Teh, yuk dituliskan lainnya nanti bisa jadi biografi lo
ReplyDeleteSaya jadi ingat Bandung nih, 2 tahun lalu kesana sudah padat sekali, macet dimana-mana
Wah masa kecil dan remajanya ternyata dihabiskan di Bandung yaa, kalau daku karena ikut ortu tugas jadinya keliling Nusantara, SD di Makassar, SMP di Papua dan SMA di Palembang..
ReplyDeleteKenangan masa kecilku juga dipenuhi dengan buku-buku. Zaman dulu kan Toko Gunung Agung yang terkenal. Aku sejak SD suka nulis diary juga. Aku oun urang sunda ti Bandung loh mbak, cuma udah ga lekoh ngomong sunda na hahahaha... Pembangunan udah pesat ya jadi lingkungan tempat tinggal berubah dan kadang bikin sedih campur senang juga ☺️
ReplyDelete"Dan Bandung bagiku bukan hanya urusan wilayah semata." Ternyata Pusdai itu hasil pembebasan lahan yang memakan waktu 10 tahun, ya. Oh, saya juga punya kenangan mendalam tentang karya-karya Tatang S. Memorable banget itu si Petruk, Gareng, dan Bagong dalam kisah hantu-hantuan.
ReplyDeleteWah, masyaAllah memorable sekali ya mbak. Ternyata Gedung Sate nggak cuma bersejarah buat masyarakat sekitar, tapi juga mengandung memori yang mendalam buat mbak menong. Ini pasti selalu inget tiap lewat di Gedung Sate ya, jadi berasa nostalgia lagi. Semoga sehat selalu ya mbak menong!
ReplyDelete