Sejak dahulu, saya memiliki cita-cita untuk berkunjung ke berbagai kampung adat yang ada di daerah Jawa Barat. Alhamdulillah, menjelang akhir bulan 2023, saya dan Zauji akhirnya mewujudkan cita-cita ini dengan berkunjung langsung untuk menyapa keunikan Kampung Naga Tasikmalaya.
Kampung Naga terletak tepat di Jalan Raya Garut – Tasikmalaya, Desa Neglasari Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Dari arah Bandung, Kampung Naga lebih mudah ditempuh melalui Garut melalui bis atau kendaraan pribadi. Angkutan umum atau ojeg online tersedia dari arah Singaparna.
Sebetulnya kami ditawari untuk menginap di Guest House Kampung Naga atau di Kampung Naga nya sendiri. Saya tak memilih opsi Guest House karena saya dan Zauji sungkan untuk bergabung dengan tamu lain dalam bangunan yang sama dengan sharing bathroom nya.
Kamar mandi di guest house lantai 1 yang merangkap warung |
Dan rasanya saya tak punya nyali menghabiskan malam di Kampung Naga karena disana tak ada listrik sementara area kamar mandi dan jamban berada di luar pemukiman.
Akhirnya saya dan Zauji memilih Hotel Al Hambra yang terletak kurleb 15 km atau bisa ditempuh dengan mobil atau motor dalam waktu 25 menit.
Untuk mencapai Kampung Naga, kami harus menuruni 414 anak tangga terbuat dari batu kali yang kokoh dan tidak licin dengan kemiringan 45 derajat (ada juga yang mengatakan 335 atau 439 anak tangga). Pemandangan indah, deretan pohon, hijaunya persawahan, beningnya air sungai, uniknya rumah adat menjadi penawar lelah.
Masyarakat Kampung Naga
Perkampungan Kampung Naga memiliki luas 1,5 hektar yang dihuni sekitar 400 orang. Awalnya rumah di Kampung Naga berjumlah 40 namun seiring dengan bertambahnya penduduk, jumlah rumah bertambah hingga kini bertahan di 110 rumah. Dan tentu saja, keterbatasan lahan dan aturan yang melarang perluasan area pemukiman sehingga membuat sebagian penduduk Kampung Naga berpindah ke luar area Kampung Naga bahkan di luar Kabupaten Tasikmalaya.
Meski berada jauh dari Kampung Naga, mereka tetap memegang teguh adat istiadat warisan nenek moyang yang sering disebut dengan Sa-Naga seperti upacara Hajat Sasih. Masyarakat Kampung Naga menganut agama Islam dan masih memegang teguh adat istiadat leluhur.
Rumah kayu berdinding bilik atau anyaman bambu dan atap ijuk, serabut hitam dan keras yang pelindung pangkal pelepah daun aren. Tak ada listrik, semua nya begitu sederhana dengan kekhasan pedesaan. Rumah-rumah di Kampung Naga juga tabu untuk dicat sehingga masih menampakan warna dan tekstur aslinya yang justru menambah eksotis.
Dalam keseharian, masyarakat Kampung Naga memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bertani, berkebun dan beternak. Aktivitas lain berjualan kerajinan bambu, komoditi pangan seperti kelapa muda dan gula aren khas Kampung Naga atau menjadi pemandu wisata bagi wisatawan. Sebagian menjadi buruh lepas, karyawan swasta bahkan pegawai negeri.
Masyarakat Kampung Naga masih memasak dengan menggunakan hawu (tungku) dan kayu bakar. Saya sendiri menikmati sayur honje (kecombrang), pepes ikan mas dan lalaban daun singkong yang rasanya jauh lebih enak. (Dan saat saya pulang, saya baru tersadar dengan ‘pakan ikan alami’ yang biasa digunakan di kolam ikan di bawah jamban yang terletak di luar pagar Kampung Naga😎).
Teman Menong juga dapat menemukan cimol atau pop ice (tanpa blender tentunya) sebagai jajanan di Kampung Naga. Saat saya intip, ternyata penjual menggunakan kompor minyak tanah untuk menggoreng karena Kampung Naga masih termasuk wilayah yang mendapatkan subsidi minyak tanah dari pemerintah.
Tak heran, keramahan ini menjadi hal biasa karena masyarakat Kampung Naga sudah terbiasa berbaur dengan masyarakat di luar kampung atau tamu yang datang berkunjung. Kami leluasa untuk mengobrol dalam bahasa Sunda yang umum kami gunakan sehari-hari atau Indonesia.
Anak-anak Kampung Naga bersekolah di luar kampung. Tak heran bila teman Menong melihat foto yang tergantung di rumah atau baju biasa yang dikenakan masyarakat Kampung Naga. Baju keseharian pun tak berbeda jauh dengan kita.
Adat Istiadat Kampung Naga
Saat akan berkunjung ke kampung adat, pastinya teman Menong akan mempelajari apa saja larangan atau pantangan yang tidak boleh dilanggar. Sebelum berangkat, teman saya sudah mewanti-wanti untuk tidak mengambil video apapun selama di Kampung Naga.
Aturan ini sebetulnya baru dibuat setelah seorang Youtuber membuat konten tentang Kampung Naga yang tidak berkenan di hati masyarakat Kampung Naga dan parahnya tak ada permintaan maaf dari yang bersangkutan.
Aturan kedua, dilarang memotret Bumi Ageung, balai pertemuan yang berada di paling belakang area pemukiman bagian atas, dekat dengan hutan larangan, dikelilingi pagar bambu. Saat duduk di manapun, kita tidak diperbolehkan untuk selonjor dengan kaki menghadap Bumi Ageung.
Area kamar mandi dan jamban juga diletakan di luar pemukiman dan dibatasi pagar bambu agar kesucian kawasan pemukiman tetap terjaga. Hal ini tentunya akan merepotkan bila teman Menong berniat menginap di Kampung Naga. Tanpa listrik, aktivitas di malam hari hanya ditemani lampu petromak atau biasanya disebut cempor.
Hanya saja, aktivitas mencuci pakaian dan alat makan bisa dilakukan di area sebelah mesjid yang memang menyediakan aliran air (pancuran) untuk wudhu. Saya juga bisa melihat sisa-sisa kemasan pewangi pakaian yang boleh digunakan.
Dan pastinya kita dilarang untuk memasuki hutan larangan dan hutan keramat yang berada di sekeliling kampung. Salah seorang sesepuh menyatakan pantangan ini sejatinya untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam di sekitar Kampung Naga.
Tak ada aturan mengenai pakaian yang harus kami kenakan. Pastinya pilih baju yang sopan namun bisa mudah menyerap keringat (karena naik turun tangga) dan melindungi kulit dari teriknya matahari. Gunakan pula sepatu atau sandal gunung yang nyaman dan tidak licin. Siapkan topi bila diperlukan.
Trip Terbaik
Saya sendiri menyukai trip kali ini meski harus mengeluarkan tenaga ekstra saat turun dan naik tangga. Kali kedua, saya memang turun sendirian tanpa Zauji sehingga punya banyak waktu untuk mengambil foto dan menikmati suasana. Menjelang pulang, saya juga menyiapkan energi untuk naik tangga.
Alhamdulillah saya berhasil naik ke atas dengan satu kali istirahat (tanpa jajan di warung seperti hari sebelum nya) meski nafas terasa putus. Sesampainya di atas, teman-teman yang naik belakangan sudah sampai di Guest House. Ternyata mereka lewat jalan pintas yang jalurnya tidak terlalu ekstrim😎
Tak seperti destinasi wisata lain, tak ada tiket masuk yang harus kita bayar. Harga suvenir dan jajanan pun relatif normal. Cimol seharga Rp. 5000 dan kelapa muda seharga Rp. 10.000. Kami juga membeli durian matang pohon yang dijual warga dengan harga Rp. 35.000 yang kami nikmati di teras rumah sambil mengobrol.
Teman Menong bisa membeli suvenir di beberapa rumah di Kampung Naga atau di area tangga dan parkiran. Suvenir khas Kampung Naga terbuat dari bambu yang membedakan dari suvenir luar Kampung Naga yang di jual disini.
Saya sendiri membeli kipas bambu dengan harga Rp. 15.000/ 2 pcs. Sebetulnya bisa ditawar namun rasanya saya tak tega membeli dengan harga lebih rendah.
Karena bertepatan dengan kegiatan sosial dari sebuah lembaga, banyak penjual seperti baso tahu, balon dan lainnya yang datang (Jangan bayangkan bagaimana mamang-mamang penjual ini membawa dagangannya turun dan naik tangga!).
Saya juga diperbolehkan untuk mengambil foto bagian dalam rumah dan menikmati sajian nasi yang dimasak menggunakan se’eng (alat tanak nasi tradisional Sunda yang mungkin sudah lama tak pernah saya lihat). Saya juga mengagumi perabotan dari bambu yang nampak kokoh, peralatan makan dari seng yang kini juga banyak digunakan resto atau kafe karena keunikannya. Teman-teman yang lain juga menyempatkan mengikuti sholat jumat di mesjid kampung.
Keunikan Kampung Naga Tasikmalaya memang sudah dikenal banyak orang. Ini adalah kali pertama saya berkunjung ke kampung adat. Banyak sekali cerita dan hikmah yang bisa kita dapatkan. Di tengah gempuran globalisasi, masih ada masyarakat yang bertahan dengan kearifannya yang sinergi dengan keharmonisan alam.
Wah, seru banget ya berwisata ke kampung Naga Tasikmalaya. Gak hanya alamnya yang masih asri, namun juga adat istiadat dan kulinernya bener2 asli. Sayang, pemda setempat kurang memfasilitasi...
ReplyDeletelihat kampung Naga jadi ingat kampung wisata Toraja, ada rumah adat, sajian tradisional dan adat istiadat yang ramah alam..semoga terus lestari
ReplyDeleteIya betul...sama2 kampung adat
DeleteWah keren banget kampung Naga.. Masih mempertahankan budaya nenek moyang sampe hari ini. Perlu lebih banyak diapresiasi nih 😍
ReplyDeleteAku agaktersentak ya mbak pas baca paman alami ikan di sana hehe.. Gpp ya mbak, sekali2 wkwk. Btw, penduduk kampung Naga pakai hape nggak mbak? Kan nggak ada listrik tuh.
ReplyDeleteGa pakai HP karena tidak ada listrik
DeleteAku tim penyuka perabotan khas tadi. Moga-moga next bisa ada di rumah kita dengan modifikasi dan personalisasi hehe
ReplyDeleteKampung Naga Tasikmalaya ini cocok banget ya mba buat berlibur bersama keluarga.
ReplyDeletePasti betahnya bisa sampai berhari-hari, khas tradisional Indonesia dari sisi lingkungan dan makanannya kena banget.
Mungkin kunjungan untuk edukasi saja
DeleteYa Allah.. serasa ngebuka kenangan baca kata-kata honye, hawu, dan se'eng. Dulu di rumah umi terbiasa masak dengan alat-alat tradisional kaya gitu. Senang rasanya ada perkampungan seperti kampung naga yang masih bisa menjaga orisinalitas ketradisionalannya untk kemudian bisa diperkenalkan pada masyarakat umum
ReplyDeleteAh akhirnya edisi keduanya terbit
ReplyDeletemenarik ya berwisata ke desa Naga, benar-benar kembali ke alam, di nenekku juga masih masak pakai kayu bakar lo, dan entah kenapa kalau dimasak dengan kayu bakarnya rasa masakannya lebih enak
Suasana rumahnya mengingatkan saya pada rumah Nenek saat saya masih kecil. Biliknya, hawunya, peralatan masaknya, apalagi pakan alami untuk ikannya
ReplyDeletepetualangan yang seru dikampung naga, cocok untuk edukasi budaya kepada anak-anak
ReplyDeleteMenyenangkan bisa jalan menikmati suasana kampung yang masih terjaga keasliannya.
ReplyDeleteMenyoroti larangan video akibat konten youtuber yang kurang tepat sangat disayangkan ya, jadi tidak bisa merekam situasi menarik yang ada didalamnya.
Lihat suasananya sudah mulai mengikuti zaman ya walau masih mempertahankan tradisionalnya. Aku suka banget suasana di air pancuran dan dapurnya, terasa sekali suasana kampungnya.
ReplyDeleteBaca ada larangan untuk masuk hutan, emang ga aneh ya, kalau ga ada larangan nanti makin banyak yang kesana dan keseimbangan alam jd berkurang
duh mba, makanannya bikin bayangin nasi anget berteman itu semua, sayang aja pakan ikan alami nya itu ya, hehe. bagus buat edukasi karena di sana masih aseli ya bahkan listrik ga ada
ReplyDeletemenarik ya mbak, jadi kepengen juga ke sana. Dan menemukan masyarakat adat seperti mereka, bisa berinteraksi langsung ke kampungnya, luar biasa. Pasti byk kesan dan hikmah . pengeeen
ReplyDeletesepertinya sangat seru sekali. apalagi kalau tidak ada sinyal disana, supaya nuansa liburan tidak terganggu dengan panggilan kantor
ReplyDeleteauto keinget acara TV jaman dlu yg bawain ruben onsu, judulnya apa ya lupa..
ReplyDeleteseru banget sih mba bisa mengunjungi kampung naga, tapi bener juga klo nginep disana bakalan nahan ke toilet semaleman kayaknya yaa
Senang sekali lihat rumah kayu dengan dinding bambu. Benar-benar mengingatkan masa lalu. Jadi pengen kembali ke masa-masa seperti itu.
ReplyDeleteWaah seru banget ya ternyata di Tasikmalaya kaya kampus khas kaya gini. Awalnya kirain ada naga gitu makannya dinamakan kampung naga hehehe
ReplyDelete