Menghabiskan waktu 16 tahun di kota Cianjur membuat saya
memiiki banyak momen manis yang tak terlupakan. Meski hanya menghabiskan waktu dengan
mengukur jalan antara kost-an dan kantor, ada beberapa kuliner khas Cianjur yang
saya sukai.
Cianjur, atau kerap disebut kota Tauco. Cianjur terletak diantara Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Bandung Barat. Sebagian besar wilayah Cianjur terdiri dari pegunungan meski
di daerah Cianjur Selatan didominasi dengan pantai. Pertanian dan perkebunan
menjadi sumber penghidupan masyarakat sehingga daerah Cianjur didominasi dengan persawahan yang hijau dan kebun.
Tak hanya masyarakatnya yang ramah, Cianjur juga memiliki banyak kuliner khas yang bisa teman Menong nikmati. Kuliner apa saja ya? Yuk, kita simak!
Seblak
Teman Menong mungkin sudah familiar dengan kuliner kekinian yang satu
ini. Seblak sebetulnya berasal dari tanah Cianjur.
Secara harfiah, seblak dalam bahasa sunda berarti hati yang terhenyak. Seblak atau
nyeblak disematkan saat teringat pada masa lalu kelam yang menyedihkan menyengsarakan atau jalan now bisa dikenal dengan jleb banget atau mengsedih.
Dalam kuliner sunda, seblak berarti menyengat karena makanan yang satu ini memiliki aroma khas kencur
dan cabe rawit atau cengek yang menyengat.
Saya pribadi mengenal seblak di awal tahun 2000-an, saat saya
pertama kali bekerja di Cianjur. Jujur saja, saya tak pernah mengenal seblak dan
nasi liwet sebelumnya. saya masih ingat momen pertama kali mengenal seblak.
Kala
itu saya sedang menunggu ojek di sebuah warung di pinggiran kota Cianjur. Saya melihat
teteh pemilik warung sedang merendam kurupuk (kerupuk) aci berwarna oranye, yang biasa
dipakai sebagai kerupuk untuk pelengkap bubur. Beliau juga mengulek cabe rawit alias cengek dan kencur lalu menumisnya hingga harum. Setelah matang, barulah kerupuk
yang telah direndam dimasukan.
Terlihat tak biasa dan menggelikan namun rasa penasaran membuat saya meminta istri paman saya yang asli Cianjur untuk membuat seblak. Awalnya seblak ini terasa aneh namun juga menimbulkan sensasi
nikmat yang menggoda lidah.
Bukan seblak namanya bila rasanya tak pedas. mungkin inilah yang membuat seblak banyak digemari karena konon katanya orang Indonesia sangat menyukai sensasi rasa pedas yang membakar lidah.
Tak dinyana bertahun-tahun kemudian ternyata seblak menjadi salah satu kuliner
hits yang dikenal banyak orang tak hanya orang Cianjur, orang Sunda namun juga berbagai daerah di Indonesia.
Bubur cianjur
Saya bukan penggemar bubur. Saat sakitpun, bubur selalu saya
hindari dan memilih menu lain yang lebih ramah di lidah saya seperti oatmeal. Ya, saya lebih familiar dengan oatmeal sejak kecil di tahun 80-an silam. Sepanjang hidup
saya, hanya ada dua bubur yang bisa saya cicipi, yaitu bubur di depan kampus dan bubur
yang setiap pagi melintas di rumah Ibunda.
Tapi, ternyata bubur Cianjur tenyata berbeda dari bubur Bandung
yang biasa saya makan.
Saya pertama kali mengenal bubur Cianjur di pertengahan tahun 90-an, saat berkunjung ke rumah teman. Meski awalnya menolak, akhirnya saya ketagihan dengan rasa bubur Cianjur.
Meski keduanya berbahan dasar nasi dan kaldu ayam, bubur Cianjur
punya kekhasan sendiri yaitu tambahan bumbu kuah kuning yang membuat rasa bubur menjadi berbeda.
Bila
bubur khas bandung cenderung sedikit padat dan diberi tambahan kecap manis. Lain halnya dengan
bubur Cianjur yang lebih mengandalkan bumbu kuah kuning yang disiramkan ke atas
bubur. Kaldu kuning ini dibuat dari rebusan ayam dan bumbu kuning yaitu kunyit, daun
bawang, bawang merah dan bawang putih, dan ketumbar.
Keunikan bubur cianjur ini ditambahkan dengan sate jeroan seperti usus atau ati ampela dan telor puyuh. Di Cianjur daerah pinggiran, satu porsi bisa teman Menong dapatkan hanya dengan Rp.5000 saja dan sate Rp. 1000 per tusuk. Namun di beberapa tempat dekat pusat kota, mungkin berkisar di Rp.8000 - Rp.10.000 per porsi dan sate tusuk yang dibanderol Rp. 1500 - Rp 2000 per tusuk.
Dan jangan dikira, ya. Bila biasanya bubur disajikan di pagi
hari saja, di Cianjur, teman menong bisa menikmati bubur setiap waktu, pagi, siang
dan malam hari.
Setelah menikah, bubur cianjur menjadi sarapan wajib saya dan Zauji. Zauji pun ternyata 'jatuh cinta' pada kuliner khas Cianjur yang satu ini. Kuah bumbu kuning ekstra tak lupa kami minta pada tukang bubur langganan kami.
Dan sayangnya kami harus berpisah dengan bubur cianjur saat saya pulang ke kampung halaman. Ahamdulillah, setelah hunting berbulan-bulan, akhirnya kami dapat menemukan bubur cianjur di kota kami tercinta. Kebetulan sang pemilik adalah teman Zauji di sebuah komunitas. Meski memiliki rasanya sedikit dimodifikasi, namun bubur cianjur made in Bandung ini bisa mengobati kerinduan kami.
Sate Maranggi
Nah, ini dia salah satu kuliner nusantara kesukaan saya, Sate maranggi sebetulnya berasal dari daerah Purwakarta, Jawa
Barat. Namun teman Menong akan banyak menjumpai sate maranggi di Cianjur. Dibuat dan disajikan dengan cara yang berbeda, sate maranggi memiliki rasa unik dan khas yang lain dari sate madura atau sate
lainnya. Pada umumnya sate maranggi dibuat dari daging sapi atau daging kambing.
Mengapa ya sate maranggi memiliki cita rasa yang lain?
Daging yang akan dibuat sate maranggi direndam terlebih dahulu dalam bumbu
khusus yang terdiri dari kecap manis,
jahe, ketumbar, lengkuas, kunyit dan sedikit cuka. Sate maranggi disajikan dengan acar, sambal tomat, sambal oncom sebagai pelengkap. Bila sate madura disajikan dengan nasi putih, sate maranggi lebih umum disajikan ketan bakar atau nasi uduk.
Sate maranggi menjadi salah satu ikon kuliner tradisional Indonesia yang memiliki banyak penggemar. Bila sate jenis lain biasa dijajakan di sore dan malam hari, sate maranggi dijumpai di pagi hari sebagai teman sarapan pagi.
Harga sate maranggi relatif lebih mahal bila dbandingkan dengan sate lain. Di daerah pinggiran Cianjur, sate maranggi bisa dibanderol Rp. 2500 per tusuk dengan didomnasi daging gajih. Di daerah perkotaan, sate maranggi bisa mencapai Rp. 4000 - Rp. 5000 per tusuk. Lumayan ya bila satu porsi 10 tusuk.
Dan lagi-lagi, sate maranggi menjadi menu sarapan dan makan malam favorit saya dan Zauji. Di tempat langganan kami, cukup dengan hanya membeli 8 tusuk sate (Rp. 2000 per tusuk) dan 2 ketan bakar (@Rp.2000) kami bisa menikmati makan malam berdua.
Mie Golosor
Nah, ini dia salah satu kuliner unik yang 'mencuri' hati saya. Mie berwarna oranye yanng sepintas mirip karet gelang ini, saya kenal karena menjadi salah satu menu favorit di kantin kami,Mie golosor terbuat dari tepung kanji atau aci. Warna kuning khas nya berasal dari kunyit.
Dalam bahasa sunda, 'golosor' artinya meluncur. Sesuai dengan namanya mie ini sangat licin sehingga langsung meluncur dari mulut langsung ke kerongkongan tanpa perlu di kunyah.
Mie golosor sering disajikan dengan saos kacang pedas. Cara membuat mie golosor pun sangat mudah.
Telah lama meninggalkan bumi Cianjur, kuliner khas Cianjur selalu mendapat tempat tersendiri di hati saya. Meski banyak dijumpai di kota lain seperti seblak dan sate maranggi namun sensasi rasa hanya saya dapatkan bila kita berburu kuliner langsung di kota Cianjur. Saya dan Zauji terkadang masih meluangkan waktu untuk kembali. Semoga next trip, kami bisa menikmati bubur khas Cianjur dan sate maranggi langganan kami. Kuys!
Baru tau ada mie golosor. Pengen nyobain deh jadinya. Ada yg dijual kering gitu gak ya mbak? Hehehe
ReplyDeleteGa ada mba...sepertinya mie basah jenis ini hanya ada di CIanjur saja
Deletepantesan seringkali lihat gerobak bubur pasti ada tulisan bubur cianjur. ternyata memang ada bubur khasnya to...
ReplyDeletebetulll...beda dengan bubur bandung atau bubur jakarta...enak loh wajib dicoba
DeleteEnak-enak semua ini. Bisa ga sih pesen semua makanan itu dari satu rumah makan. Rekomendasiin yang jualan area Jakpus dong Mba kalo ad :)
ReplyDeleteMantap betul mbakk jadi mengiler akuh
ReplyDelete